PEMBAHASAN
A. KHALIFAH
ABU BAKAR ASH- SHIDDIQ ( TAHUN 11 H- 13 H)
1. Kelahiran
Abu Bakar Ash- Shiddiq
Abu
Bakar Ash- Shidddiq ( nama lengkapnya Abu Bakar Abdullah bin Abi Quhafah bin
Utsman bin Amr bin Masud bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin
Fihr At- Taimi Al- Quraisy). Dilahirkan pada tahun 573 M. Ayahnya bernama
Utsman ( Abu Kuhafah) bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Lu’ay, berasal
dari suku Quraisy, sedangkan ibunya bernama Ummu Al- Khair Salmah binti Sahr
bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taym bin Murrah. Garis keturunannya bertemu pada neneknya,
yaitu Ka’ab bin Sa’ad. [1]
Abu
Bakar merupakan orang yang pertama masuk Islam ketika Islam mulai didakwakan.
Pengorbanan Abu Bakar terhadap Islam tidak diragukan lagi. Abu Bakar juga merupakan seorang yang jernih
tabi’atnya, persahabatan dan kepercayaannya yang kekal kepada kenabian Nabi
Muhammad SAW menjadi sebuah tanda bukti ketulusan hatinya. [2]
Ia
juga pernah ditunjuk Rasul sebagai penggantinya untuk mengimami shalat ketika
nabi sakit. Nabi Muhammad SAW pun wafat tak lama setelah kejadian tersebut.
Karena tidak ada pesan mengenai siapa penggantinya dikemudian hari, pada saat
jenazah Nabi belum dimakamkan di antara umat Islam, ada yang mengusulkan untuk
cepat- cepat memikirkan pengganti Nabi. Itulah perselisihan pertama terjadi
pasca Nabi wafat. Perselisihan tersebut berlanjut ke perselisihan kedua di
Saqifa Bani Sa’idah [3] ,
pada saat kaum Anshar menuntut diadakannya pemilihan khalifah. Sikap kaum
Anshar ini menunujukkan bahwa kaum Anshar lebih memiliki rasa kepedulian dalam
hal berpolitik dibandingkan dengan kaum Muhajirin.
Dalam
pertemuan tersebut, sebelum kaum Muhajirin datang, golongan Khajraz telah
sepakat mencalonkan Salad bin Ubadah, sebagai pengganti Rasul. Akan tetapi suku
Aus belum menjawab atas pandangan tersebut
sehingga terjadilah perdebatan antara mereka dan pada akhirnya Salad bin
Ubadah yang tidak menginginkan adanya perpecahan mengatakan bahwa ini merupakan
awal dari perpecahan. Melihat situasi yang memanas, Abu Ubaidah mengajak kaum
Anshar agar bersikap tenang dan toleran, kemudian Basyir bin Sa’ad Abi An
Nu’man bin Basyir berpidato dengan mengatakan agar tidak memperpanjang masalah
ini. Keadaan yang sudah tenang ini, Abu Bakar berpidato , “ Ini Umar dan Abu
Ubaidah, siapa yang kamu kehendaki di antara mereka berdua, maka bai’atlah.
Baik
Umar maupun Abu Ubaidah merasa keberatan atas ucapan Abu Bakar dengan
mempertimbangkan berbagai alasan, diantaranya adalah ditunjukinya Abu Bakar
sebagai pengganti rasul dalam imam shalat dan ini membuat Abu bakar lebih
berhak menjadi pengganti Rasulullah SAW. Sebelum keduanya membai’at Abu Bakar,
Basyir bin Sa’ad mendahuluinya, kemudian Umar dan Abu Ubaidah dan diikuti
secara serentak oleh semua hadirin.
2. Peran
dan Fungsi Abu Bakar
Sepak
terjang pola pemerintahan Abu Bakar dapat dipahami dari pidato Abu Bakar ketika
ia diangkat menjadi khalifah. Secara lengkap isi pidatonya sebagai berikut :
“
Wahai manusia, sungguh aku telah memangku jabatan yang kamu percayakan, padahal
aku bukan orang yang terbaik di antara kamu. Apabila aku melaksanakan tugasku
dengan baik, bantulah aku, dan jika aku salah, luruskanlah aku. Kebenaran
adalah suatu kepearcayaan, dan kedustaan adalah suatu pengkhianatan. Orang yang
lemah di antara kamu adalah orang kuat bagiku sampai aku memenuhi hak- haknya,
dan orang kuat di antara kamu adalah lemah bagiku hingga aku mengambil haknya,
Insya Allah. Janganlah salah seorang dari kamu meninggalkan Jihad. Sesungguhnya
kaum yang tidak memenuhi panggilan jihad maka Allah akan menimpakan atas mereka
suatu kehinaan. Patuhlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan
Rasulnya, jika aku tidak menaati Allah
dan Rasul Nya, sekali- kali janganlah kamu menaatiku. Dirikanlah shalat, semoga
Allah merahmati kamu.” [4]
Ucapan
pertama ketika dibai’at menunjukkan garis besar politik dan kebijaksanaan Abu
Bakar dalam pemerintahan antara lain :
a. Kebijaksanaan
pengurusan terhadap agama
Pada
awal pemerintahannya ia diuji dengan adanya ancaman yang datang dari umat Islam
sendiri yang menentang kepemimpinannya. Di antara perbuatan makar tersebut
ialah timbulnya orang- orang yang murtad, orang- orang yang tidak mau membayar
zakat, orang- orang yang mengaku menjadi nabi, dan pemberontakan dari beberapa
kabilah
b. Kebijaksanaan
Kenegaraan
Diantara
kebijakan Abu Bakar dalam pemerintahan atau kenegaraan antara lain :
1. Bidang
Eksekutif
Untuk
pelaksanaan tugas- tugas eksekutif, Abu Bakar melakukan pembagian kekuasaan di
kalangan sahabat senior, Abu Bakar mengangkat tiga orang sahabat yaitu : Ali ,
Usman dan Zaid bin Tsabit sebagai sekretaris Negara (Katib) yang berkedudukan
di kota Madinah. Untuk memegang keuangan Negara, Abu Bakar menunjuk Abu Ubaidah
sebagai Bendahara. Sedangkan untuk jabatan hakim agung diserahkan kepada ‘Umar
ibn Al Khattab, sementara dalam membantu khalifah memutuskan urusan- urusan
kenegaraan, Abu Bakar juga membentuk Majelis Syura yang terdiri dari ‘Umar,
Usman, Ali, Abd al – Rahman ibn ‘Awf, Mu’adz ibn Jabal, Ubay ibn Ka’b dan Zaid
bin Tsabit. [5]
2. Pertahanan
dan Keamanan
Dengan
mengorganisasikan pasukan- pasukan yang ada untuk mempertahankan eksistensi
keagamaan dan pemerintahan. Pasukan itu disebarkan untuk memelihara stabilitas
di dalam maupun di luar negeri. Di antara panglima yang ada ialah Khalid bin
Walid, Musanna bin Harisah,, Amr bin ‘Ash, Zaid bin Sufyan dan lain- lain.
3. Yudikatif
Fungsi
kehakiman dilaksanakan oleh Umar bin Khattab dan selama masa pemerintahan Abu
Bakar tidak ditemukan suatu permasalahan yang berarti untuk dipecahkan, hal
inni karena kemampuan dan sifat Umar sendiri dan masyarakat pada waktu itu
dikenal ‘alim
4. Sosial
ekonomi
Sebuah
lembaga mirip Bait Al Mal. Di dalamnya
dikelola harta benda yang di dapat dari zakat, infak, shadaqah, ghanimah dan
lain- lain. Penggunaan harta tersebut digunakan untuk gaji pegawai Negara dan
untuk kesejahteraan umat sesuai dengan aturan yang ada.
Pada
masa Abu Bakar ini, bagi orang yang enggan enggan dan membangkang dalam
membayar dapat dihukum dengan denda, bhkan dapat diperangi dan dibunuh. Hal ini
dilakukan oleh Abu Bakar sepeninggal Rasulullah SAW, karena banyak suku Arab
yang tidak mau membayar zakat dan hanya mau mengerjakan shalat. Abu Bakar
pernah menyatakan, “ Demi Allah, Saya akan memerangi siapapun yang membeda-
bedakan zakat dan shalat “. [6]
3. Penyebaran
Islam pada Masa Abu Bakar
Setelah
pergolakan dalam negeri berhasil dipadamkan (terutama memerangi orang- orang
murtad), khalifah Abu Bakar menghadapi kekuatan Persia dan Romawi yang selalu
berkeinginan menghancurkan eksistensi Islam. Untuk menghadapi Persia, Abu Bakar
mengirim tentara Islam di bawah pimpinan Khalid bin walid dan Mutsanna bin
Haritsah dan berhasil merebut beberapa daerah penting Irak dari kekuasaan
Persia. Adapun untukl menghadapi Romawi, Abu Bakar memilih empat panglima Islam
terbaik yaitu, Amr bin al Ash di front palestina, Yazid bin Abi Sufyan di front
damaskus, Abu Ubaidah di front Hims dan Syurahbil bin Hasanah di front
Yordania. Empat pasukan ini kemudian
dibantu oleh Khalid bin Walidyang bertempur di front Siria. [7]
4. Faktor
Keberhasilan Khalifah Abu Bakar
Faktor
keberhasilan Abu Bakar yang lain adalahb dalam membangun pranata social di
bidang politik dan pertahanan keamanan. Keberhasilan tersebut tidak lepas dari
sikap keterbukaannya, yaitu memberikan hak dan kesempatan yang sama kepada
tokoh- tokoh sahabat untuk ikut membicarakan berbagai masalah sebelum mengambil
keputusan melalui forum musyawarah sebagai lembaga legislative.
5. Peradaban
Pada Masa Abu Bakar
Bentuk
peradaban yang paling besar pada masa Khalifah Abu Bakar antara lain :
a. Penghimpunan
Al Quran, Abu Bakar memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit untuk menghimpun Al-
Quran dari pelepah kurma, kulit binatang, dan dari hapalan kaum muslimin
b. Dalam
bidang pranata social ekonomi adalah mewujudkan keadilan dan kesejahteraan
social rakyat dengan cara mengelola zakat, infak dan sedekah yang berasal dari
kaum muslimin. Abu Bakar menjalankankan roda pemeriintahannya selama lebih
kurang 2 Tahun.
c. Praktik
pemerintahan Khalifah Abu Bakar terpenting lainnya adalah mengenai suksesi
kepemimpinan atas inisiatifnya sendiri dengan menunjuk Umar bin Khattab untuk
menggantikannya.
B. KHALIFAH
UMAR IBN AL- KHATTAB
1. Kelahiran
Umar Ibn Al- Khattab (TAHUN 13 H- 23 H)
Umar
ibn Al- Khattab (583-644) yang memiliki nama lengkap Umar bin Khattab bin
Nufail bin Abd Al Uzza bin Ribaah bin Abdillah bin Qart bin Razail bin ‘adi bin
Ka’ab bin lu’ay adalah khalifah kedua yang menggantikan Abu Bakar Ash- Shiddiq.
Dia adalah salah seorang sahabat terbesar sepanjang sejarah sesudah Nabi
Muhammad SAW.
Kebesarannya
terletak pada keberhasilannya, baik sebagai negarawan yang bijaksana, maupun
sebagai Mujtahid yang ahli dalam membangun Negara besar yang ditegakkan atas
prinsip- prinsip keadilan, persamaan, dan persaudaraan yang diajarkan oleh Nabi
Muhammad SAW.
2. Latar
Belakang Kehidupan Umar ibn Al- Khattab
Umar
ibn Al- Khattab dilahirkan di Mekkah dari keturunan suku Quraisy yang
terpandang dan terhormat. Ia lahir empat tahun sebelum terjadinya perang Fijar
dan tiga belas tahun lebih muda dari Nabi Muhammad SAW.
Sebelum
masuk Islam, Umar termasuk di antara kaum Kafir Quraisy yang paling ditakuti
oleh orang- orang yang sudah masuk Islam. Setelah Umar masuk islam, dia menjadi
salah seorang yang gigih dan setia membela Islam.
3. Pengangkatan
Umar ibn Al- Khattab Sebagai Khalfah
Abu
Bakar sebelum meninggal pada tahun 634 M/ 13 H, menunjuk Umar ibn Al Khattab
sebagai penggantinya. Kendatipun hal ini merupakan perbuatan yang belum pernah
terjadi sebelumnya, tapi nampaknya ada beberapa factor dalam penunjukan ini
antara lain :
a. Kehawatiran
peristiwa yang sangat menegangkan di Tsaqifah Bani Sa’idah yang nyaris menyeret
ke perpecahan.
b. Kaum
Anshar dan kaum Muhajirin saling mengklaim sebagai golongan yang berhak menjadi
Khalifah
c. Kaum
Islam pada saat itu baru saja selesai menumpas kaum murtad dan pembangkang. [8]
Penunjukan
Abu Bakar terhadap Umar yang dilakukan disaat ia mendadak sakit pada masa
jabatannya merupakan suatu yang baru, tetapi harus dicatat bahwa penunujukan
itu dilakukan dalam bentuk rekomendasi atau saran yang diserahkan pada
persetujuan umat.
Abu
Bakar telah memanggil Abdur-Rahman bin
Auf dan ia menanyakan tentang Umar. "Dialah yang mempunyai pandangan
terbaik, tetapi dia terlalu keras," kata Abdur-Rahman. "Setelah
Abdur-Rahman keluar ia memanggil Usman bin Affan dan ditanyanya tentang Umar.
"Semoga Allah telah memberi pengetahuan kepada saya tentang dia,"
kata Usman, "bahwa isi hatinya lebih baik dari lahirnya. Tak ada orang
yang seperti dja di kalangan kita." Setelah itu Abu Bakr meminta pendapat Sa'id bin Zaid dan
. Beberapa orang sahabat Nabi ketika mendengar saran-saran Abu Bakar mengenai
pe-nunjukan Umar sebagai khalifah
Merasa
tidak cukup hanya bermusyawarah dengan orang-orang bijaksana di kalangan
Muslimin, terutama setelah ada pihak yang menentang, dari dalam kamar di
rumahnya itu Abu Bakr menjenguk kepada orang-orang yang ada di Masjid, dan
berkata kepada mereka: "Setujukah kalian dengan orang yang dicalonkan
menjadi pemimpin kalian? Saya sudah berijtihad menurut pendapat saya dan tidak
saya mengangkat seorang kerabat. Yang saya tunjuk menjadi pengganti adalah Umar
bin Khattab. Patuhi dan taatilah dia! "Mereka menjawab: "Kami patuh
dan taat. " Ketika itu ia mengangkat tangan ke atas seraya berkata:
"Ya Allah, yang kuinginkan untuk mereka hanyalah yang ter-baik untuk
mereka. [9]
Setelah
dilantik menjadi khalifah, ‘Umar berpidato di hadapan umat Islam untuk
menjelaskan visi politik dan arah kebijakan yang akan dilaksanakan dalam
memimpin kaum muslimin, dalam pidatonya berbunyi :
“Aku
telah dipilih menjadi Khalifah. Kerendahhatian Abu Bakar sejalan dengan jiwanya
yang terbaik di antara kalian dan lebih kuat terhadap kalian serta juga lebih
mampu memikul urusan- urusan kamu yang penting. Aku diangkat untuk menjadi
Khalifah tidak sama dengan beliau. Seandainya aku tahu ada orang yang lebih
kuat untuk memikul jabatan ini dari padaku, maka aku lebih suka memilih
memberikan leherku untuk dipenggal daripada memikul jabatan ini.[10]
4. Ekspansi
Islam Masa Pemerintahan Kahalifah Umar ibn Al- Khattab
Selama
sepuluh tahun pemerintahan Umar (13 H/ 634 M- 23 H/ 644 M ), sebagian besar
ditandai oleh penaklukan- penaklukan untuk melebarkan Islam ke luar Arab.
Sejarah mencatat, Umar telah berhasil membebaskan negeri- negeri jajahan
Imperium Romawi dan Persia yang dimulai dari awal pemerintahannya, bahkan sejak
pemerintahan sebelumnya. Segala tindakan yang dilakukan untuk menghadapi dua
kekuatan itu jelas bukan hanya menyangkut kepentingan keagamaan saja, namun
juga untuk kepentingan politik.
Faktor-
faktor yang melatarbelakangi timbulnya konflik antara umat Islam dengan Romawi
dan Persia antara lain :
a. Bangsa
Romawi dan Persia tidak menaruh hormat terhadap maksud baik Islam
b. Semenjak
Islam masih lemah, Romawi dan Persia selalu berusaha menghancurkan Islam
c. Bangsa
Romawi dan Persia sebagai Negara yang subur dan terkenal dengan kemakmurannya,
tidak berkenan menjalin hubungan perdagangan dengan negeri- negeri Arab.
d. Bangsa
Romawi dan Persia bersikap ceroboh menghasut suku- suku Badui untuk menentang
Islam.
e. Letak
geografis kekuasaan Romawi dan Persia sangat strategis untuk kepentingan
keamanan dan pertahanan islam.
5. Umar
ibn Khattab : Madinah Sebagai Negara Adikuasa
Semenjak
penaklukan Persia dan romawi , pemerintahan Islam menjadi adikuasa dunia yang
memiliki wilayah kekuasaan luas meliputi, semenanjung Arabia, palestina, Siria,
Irak, Persia, dan Mesir.
Umar
ibn Al- Khattab yang dikenal sebagai negarawan, administrator terampil dan
pandai, dan seorang pembaharu membuat berbagai kebijakan mengenai pengelolaan
wilayah kekuasaan yang luas, ia menata struktur kekuasaan dan administrasi pemerintahan
Negara Madinah berdasarkan semangat Demokrasi.
6. Peradaban
pada masa Khalifah Umar
Peradaban
yang paling signifikan pada masa Umar, selain pola administrative pemerintahan,
peperangan, dan sebagainya adalah pedoman dalam peradilan. Pemikiran Khalifah
Umar bin Khattab khususnya dalam peradilan yang masih berlaku samapai sekarang
adalah sebagai berikut : [11]
1. Kedudukan
lembaga peradilan ( wajib di tengah- tengah masyarakat )
2. Memahami
kasus persoalan, baru memutuskannya
3. Samakan
pandangan anda kepada kedua belah pihak, dan berlaku adillah.
4. Kewajiban
pembuktian
5. Lembaga
damai
6. Penundaan
persidangan
7. Kebenaran
dan keadilan adalah masalah universal
8. Kewajiban
menggali hokum yang hidup dan melakukan penalaran logis.
9. Orang
Islam haruslah berlaku adil
10. Larangan
bersidang ketika emosional.
Khalifah
Umar bin Khattab menjalankankan roda
pemeriintahannya selama lebih kurang 10 Tahun.
C. KHALIFAH UTSMAN BIN AFFAN ( TAHUN 23 H- 35 )
1. Kelahiran
Utsman Bin Affan
Nama beliau
adalah Utsman bin
'Affan bin Abil 'Ash
bin Umayyah bin
Abdisy Syams bin
Abdi Manaf bin Qusyai
bin Kilab. Beliau
menisbatkan dirinya kepada bani
Umayyah, salah satu
kabilah Quraisy. Beliau
dilahirkan pada tahun 576 M di Mekah
enam tahun setelah tahun ga jah,
menurut pendapat yang
shahih. Beliau tumbuh diatas
akhlak yang mulia
dan perangai yang
baik. Beliau sangat pemalu,
bersih jiwa dan
suci lisannya, sangat sopan
santun, pendiam dan
tidak pernah menyakiti orang
lain. Beliau suka
ketenangan dan tidak suka
keramaian/kegaduhan,
perselisihan, teriakan
keras. Dan beliau
rela mengorbankan nya wanya demi
untuk menjauhi hal-hal tersebut.
Dan karena kebaikan akhlak
dan mu'amalahnya, beliau dicintai oleh
Quraisy, hingga merekapun menjadikannya sebagai
perumpamaan. Dari sini Imam Asy-S
ya'bi mengatakan :
"Dahulu Utsman sangat dicintai oleh
orang-orang Quraisy, mereka menjadikannya sebagai
suri taudalan, mereka memuliakannya. Sampai-sampai
para ibu dari kalangan
orang-orang Arab, jika
menghibur anaknya, dia mengatakan
: Demi Allah yang Maha Penyayang, aku
mencintaimu seperti kecintaan Quraisy kepada Utsman. [12]
Ibu
Khalifah Utsman bin Affan adalah Urwy bin Kuriz bin Rabiah. Utsman bin Affan
masuk Islam pada usia 30 tahun atas ajakan Abu Bakar. Sesaat setelah masuk
Islam, ia sempat mendapatkan siksaan dari pamannya, Hakam bin Abil Ash. Ia
dijuluki dzun nurain, karena menikahi dua putrid Rasulullah SAW secara berurutan setelah yang satu meninggal, yakni
Ruqayyah dan Ummu Kalsum.
2. Pengangkatan
Khalifah Usman bin Affan
Panitia
pemilihan Khalifah, memilih Usman menjadi Khalifah ketiga menggantikan Umar bin
Khattab. Pemerintahan Usman bi Affan ini berlangsung dari tahun 644 sampai 656
M. ketika Usman dipilih, Usman telah tua ( 70 tahun) dengan kepribadian yang
agak lemah.
Dalam
Pidato pelantikan (inaugural speech) dari khalifah terpilih Utsman bin Affan
ra, setelah beliau dibai’at adalah sebagai berikut :
“Amma
ba’du, sesungguhnya, tugas ini telah dipikulkan kepadaku dan aku telah
menerimanya, dan sesungguhnya aku adalah muttabi’ (pengikut sunnah Rasulullah
SAW) dan bukannya seorang mubtadi’
(seorang yang berbuat bid’ah). Ketahuilah bahwa kalian berhak menuntut
aku mengenai selain Kitab Allah dan Sunnah Nabi Nya, yaitu mengikuti apa yang
telah dilakukan oleh orang - orang sebelumku dalam hal- hal yang kamu sekalian
telah bersepakat dan telah kamu jadikan sebagai kebiasaan, membuat kebiasaan
baru yang layak bagi ahli kebajukan dalam hal - hal yang belum kamu jadikan sebagai
kebiasaan, dan mencegah diriku dari bertindak atas kamu kecuali dalam hal- hal
yang kamu sendiri telah menyebabkannya. “ [13]
Kelemahan
ini dipergunakan oleh orang- orang di sekitarnya untk mengejar keuntungan
pribadi, kemewahan dan kekayaan. Hal ini dimanfaatkan terutama oleh keluarganya
sendiri dari golongan Umayyah. Banyak pangkat- pangkat tinggi dan jabatan-
jabatn penting dikuasai oleh familinya. Pelaksanaan pemerintahan seperti ini,
dalam bahasa orang sekarang disebut nepotisme (kecenderungan untuk mengutamakan
atau menguntungkan sanak saudara (keluarga sendiri ).
3. Visi
dan Misi Khalifah Utsman bin Affan
Dalam
pidato pelantikan Utsman bin Affan tergambar bahwa beliau adalah sebagai
seorang Sufi, dan citra pemerintahannya lebih bercorak agama ketimbang corak
politik, dalam pidato itu Usman mengingatkan beberapa hal penting :
1. Agar
umat Islam selalu berbuat baik sebagai bekal ke hari akhirat.
2. Agar
umat Islam tidak terpedaya dengan kemewahan dunia.
3. Agar
umat Islam mau mengambil iktibar dari masa lalu, mengambil yang baik dan
menjauhkan yang buruk.
4. Sebagai
Khalifah ia akan menjalankan perintah Al Quran dan Sunnah.
5. Ia
akan melakukan apa yang telah dilakukan pendahulunya
6. Umat
Islam boleh mengkritiknya jika ia menyimpang dari ketetntuan hokum.
7. Penyebaran
Islam pada Masa Khalifah Utsman Bin Affan
Pada
masa pemerintahannya perluasan daerah Islam diteruskan ke Barat sampai Maroko,
ke timur menuju India dan ke Utara bergerak ke arah konstantinopel. Pada
umumnya perluasan wilayah Islam ini dilakukan karena memenuhi kehendak
jenderal- jenderalnya.
Namun
pada saat Utsman bin Affan menjabat sebagai Khalifah Utsman dituduh oleh
sebahagian sahabat telah mengangkat familinya untuk menduduki jabatan- jabatan
istana. Pemberontakan dimulai di Mesir, kemudian orang- orang yang sudah
terbakar emosinya datang ke Madinah, tempat tinggal Khalifah. Ia dikepung di
rumahnya, karena menolak untuk menyerah maka ia dibunuh oleh salah seorang
pengacau, peristiwa itu terjadi pada tahun 656 H, kemudian dipilihlah
penggantinya yang akhirnya dipegang oleh Ali bin Abi Thalib. [14]
4. Peradaban
pada masa Khalifah Utsman bin Affan
Di
antara jasa- jasa Usman Bin Affan yang lain adalah tindakannya untuk menyalin
dan membuat Al- Quran standar, yang di dalam kepustakaan disebut dengan
kodifikasi al Quran.[15]
Standarisasi
Al Quran perlu diadakan, karena pada masa pemerintahannya wilayah Islam telah
sangat luas dan didiami oleh berbagai suku bangsa dengan berbagai bahasa dan
dialek yang tidak sama. Karena itu, di kalangan pemeluk agama Islam terjadi
perbedaan ungkapan dan ucapan tentang
ayat- ayat al quran yang disebarkan melalui hafalan. Perbedaan cara mengucapkan
itu menimbulkan perbedaan arti. Berita tentang ini sampai pada Usman. Ia lalu membentuk
Panitia yang kembali dipimpin oleh Zaid bin Tsabit untuk menyalin naskah Al-
Quran yang telah dihimpun di masa Khalifah Abu Bakar dahulu, disimpan oleh
Hafsah, janda Nabi Muhammad SAW. Panitia ini bekerja dengan satu disiplin
tertentu, menyalin naskah Al Quran ke dalam lima Mushaf (kumpulan lembaran-
lembaran yang ditulis, dan Al Quran itu sendiri disebut pula Mushaf ), untuk
dijadikan standar dalam penulisan dan bacaan Quran di wilayah kekuasaan Islam
pada waktu itu. Semua naskah yang dikirim ke ibukota Propinsi ( Makkah, Kairo,
Damaskus, Baghdad) itu disimpan dalam masjid. Satu naskah tinggal di Madinah
untuk mengenang jasa Usman, naskah yang disalin di masa pemerintahnnya itu
disebut Mushaf Usmany atau al- Imam karena ia menajadi standar bagi Quran yang
lain. Kemudian disalin dan diberi tanda- tanda bacaan di Mesir seperti yang
kita lihat sekarang ini.
Khalifah
Utsman bin Affan menjalankankan roda pemeriintahannya selama lebih kurang 12
Tahun.
D. KHALIFAH ALI
BIN ABI THALIB ( TAHUN 35 H- 40
H)
1. Kelahiran
Khalifah Ali Bin Abi Thalib
Imam
Ali r.a dilahirkan hari Jum'at, 13 bulan
Rajab, 12 tahun sebelum Nabi Muhammad s.a.w.
mendapat risalah, Sepanjang ingatan orang, inilah untuk pertama kali
seorang wanita melahirkan puteranya dalam Ka'bah. Kelahiran bayi ini hanya
disaksikan oleh ayah bundanya saja. Kejadian yang luar biasa ini, beritanya
segera tersiar ke berbagai penjuru. Berbondong- bondonglah mereka, terutama
keluarga Bani Hasyim, datang ke Ka'bah, guna menyaksikan bayi yang baru lahir.
Di antara yang datang ialah Nabi Muhammad s.a.w. Bayi ini saudara misan beliau
sendiri. Beliau menggendong bayi tersebut, kemudian bersama ayah-ibunya pulang
ke rumah Abu Thalib.
Pemuka-pemuka
Qureiys diundang mengunjungi pesta itu, sebagai penghormatan atas kelahiran
puteranya. Pada kesempatan itulah Abu Thalib mengumumkan pemberian nama
"Ali" kepada puteranya yang baru lahir. "Ali" berarti
"luhur". Sesungguhnya, sebelum berlangsung pesta walimah, di mana Abu
Thalib mengumumkan nama "Ali" bagi puteranya yang keempat itu,
Fatimah telah memberi nama "Haidarah", yang berarti
"Singa". Satu nama yang diambil persamaannya dari nama Asad, nama
datuknya dari pihak ibu, yang juga berarti "Singa". Sementara orang mengatakan, bahwa yang
memberi nama "Haidarah" ialah orang-orang Qureiys. Tetapi sejarah
membuktikan, bahwa nama "Haidarah" itu sesungguhnya pemberian ibunya
sendiri.
Bukti
sejarah ini dapat diketahui dari peristiwa perang-tanding, seorang lawan
seorang, antara Imam Ali r.a. melawan Marhaban. Dalam perang-tanding itu
Marhaban mengagul-agulkan diri engan bait syairnya: "Aku inilah yang
diberi nama Marhaban oleh ibuku!" Imam Ali r.a. segera menukas dan
melanjutkan bait syair itu dengan kata-katanya: "Aku inilah yang diberi
nama Haidarah oleh ibuku!" Hanya saja nama yang diberikan ibunya menjadi
tenggelam sesudah pengumuman ayahnya dalam pesta walimah, yaitu
"Ali". Ia lebih terkenal
dengan nama Ali bin Abi Thalib.
Ketika
di bawah asuhan Rasul Allah s.a.w., Imam Ali r.a. pernah diberi julukan
"Abu Turab", yang artinya "Si Tanah". Pemberian julukan itu
erat kaitannya dengan peristiwa ditemuinya Imam Ali r.a. di satu hari sedang
tidur berbaring di atas tanah. Yang menemuinya Nabi Muhammad s.a.w. sendiri.
Beliau menghampirinya dan duduk dekat kepalanya sambil mengusap-usap
punggungnya guna membuang debu-tanah. Kemudian Nabi Muhammad s.a.w.
membangunkannya seraya berkata: "Duduklah, engkau hai Abu
Turab!" Nama Abu Turab ini paling
disukai oleh Imam Ali r.a. Ia sangat bangga bila dipanggil dengan nama itu. [16]
2. Proses
Pengangkatan Ali Bin abi Thalib
Menurut
penuturan Abu Mihnaf, sebagaimana tercantum dalam Syarh Nahjil Balaghah, jilid
IV, halaman 8, dikatakan, bahwa ketika itu kaum Muhajirin dan Anshar berkumpul
di masjid Rasul Allah s.a.w. Dengan harap-harap cemas mereka menunggu berita
tentang siapa yang akan menjadi Khalifah baru. Masjid yang menurut ukuran masa
itu sudah cukup besar, penuh sesak dibanjiri orang. Di antara tokoh-tokoh
muslimin yang menonjol tampak hadir Ammar bin Yasir, Abul Haitsam bin At
Thaihan, Malik bin 'Ijlan dan Abu Ayub bin Yazid. Mereka bulat berpendapat,
bahwa hanya Ali bin Abi Thalib r.a. lah tokoh yang paling mustahak
dibai'at. Diantara mereka yang paling
gigih berjuang agar Imam Ali r.a. dibai'at ialah Ammar bin Yasir. Dalam
mengutarakan usulnya, pertama-tama Ammar mengemukakan rasa syukur karena kaum
Muhajirin tidak terlibat dalam pembunuhan Khalifah Utsman r.a. Kepada kaum Anshar, Ammar menyatakan, jika
kaum Anshar hendak mengkesampingkan kepentingan mereka sendiri, maka yang
paling baik ialah membai'at Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah. Ali bin Abi
Thalib, kata Ammar, mempunyai keutamaan dan ia pun orang yang paling dini
memeluk Islam. Kepada kaum Muhajirin, Ammar mengatakan: kalian sudah mengenal
betul siapa Ali bin Abi Thalib. Oleh karena itu aku tak perlu menguraikan
kelebihan-kelebihannya lebih panjang lebar lagi. Kita tidak melihat ada orang
lain yang lebih tepat dan lebih baik untuk diserahi tugas itu! Usul Ammar
secara spontan disambut hangat dan didukung oleh yang hadir. Malahan kaum
Muhajirin mengatakan: "Bagi kami, ia memang satu-satunya orang yang paling
afdhal!" Setelah tercapai kata sepakat, semua yang hadir berdiri serentak, kemudian berangkat
bersama-sama ke rumah Imam Ali r.a.
Di
depan rumahnya mereka beramai-ramai minta dan mendesak agar Imam Ali r.a.
keluar. Setelah Imam Ali r.a. keluar, semua orang berteriak agar ia bersedia
mengulurkan tangan sebagai tanda
persetujuan dibai'at menjadi Amirul Mukminin. Pada mulanya Imam Ali r.a.
menolak dibai'at sebagai Khalifah. Dengan terus terang ia menyatakan :
"Aku lebih baik menjadi wazir yang membantu daripada menjadi seorang Amir
yang berkuasa. Siapa pun yang kalian bai'at sebagai Khalifah, akan kuterima
dengan rela. Ingatlah, kita akan menghadapi banyak hal yang menggoncangkan hati
dan fikiran." Jawaban Imam Ali r.a. yang seperti itu tak dapat diterima
sebagai alasan oleh banyak kaum muslimin yang waktu itu datang berkerumun di
rumahnya. Mereka tetap mendesak atau setengah memaksa, supaya Imam Ali r.a.
bersedia dibai'at oleh mereka sebagai Khalifah. Dengan mantap mereka menegaskan
pendirian: "Tidak ada orang lain yang dapat menegakkan pemerintahan dan
hukum-hukum Islam selain anda. Kami khawatir terhadap ummat Islam, jika
kekhalifahan jatuh ketangan orang lain…"
Beberapa
saat lamanya terjadi saling-tolak dan saling tukar pendapat antara Imam Ali
r.a. dengan mereka. Para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. dan para pemuka kaum
Muhajirin dan Anshar mengemukakan alasannya masing-masing tentang apa sebabnya
mereka mempercayakan kepemimpinan tertinggi kepada Imam Ali r.a. Betapapun kuat
dan benarnya alasan yang mereka ajukan Imam Ali r.a. tetap menyadari, jika ia
menerima pembai'atan mereka pasti akan menghadapi berbagai macam tantangan dan
kesulitan gawat. Baru setelah Imam Ali r.a. yakin benar, bahwa kaum muslimin
memang sangat menginginkan pimpinannya, dengan perasaaan berat ia menyatakan kesediaannya untuk menerima
pembai'atan mereka. Satu-satunya alasan yang mendorong Imam Ali r.a. bersedia
dibai'at, ialah demi kejayaan Islam, keutuhan persatuan dan kepentingan kaum
muslimin. Rasa tanggung jawabnya yang besar atas terpeliharanya nilai-nilai
peninggalan Rasul Allah s.a.w., membuatnya siap menerima tanggung jawab berat
di atas pundaknya. Sungguh pun demikian, ia tidak pernah lengah, bahwa situasi
yang ditinggalkan oleh Khalifah Utsman r.a. benar-benar merupakan tantangan
besar yang harus ditanggulangi.
Keputusan
Imam Ali r.a. untuk bersedia dibai'at sebagai Amirul Mukminin disambut dengan
perasaan lega dan gembira oleh sebagian besar kaum muslimin. Kepada mereka Imam
Ali r.a. meminta supaya pembai'atan dilakukan di masjid agar dapat disaksikan
oleh umum. Kemudian Imam Ali r.a. juga memperingatkan, jika sampai ada seorang
saja yang menyatakan terus terang tidak menyukai dirinya, maka ia tidak akan
bersedia dibai'at. Mereka dapat menyetujui permintaan Imam Ali r.a., lalu
ramai-ramai pergi menuju masjid. Setibanya di Masjid, ternyata orang pertama
yang menyatakan bai'atnya ialah Thalhah bin
Ubaidillah.
Menyaksikan kesigapan Thalhah itu, seorang bernama Qubaisah bin Dzuaib Al
Asadiy menanggapi: "Aku Khawatir, jangan-jangan pembai'atan Thalhah itu
tidak sempurna!" Ia mengucapkan tanggapannya itu karena tangan Thalhah
memang lumpuh sebelah. Orang lain membiarkan komentar itu lewat begitu saja.
Zubair bin Al-'Awwam segera mengikuti jejak Thalhah menyatakan bai'at kepada
Imam Ali r.a. Sesudah itu barulah kaum Muhajirin dan Anshar menyatakan
bai'atnya masing-masing. Yang tidak ikut menyatakan bai'at ialah Muhammad bin
Maslamah, Hasan bin Tsabit, Abdullah bin Salam, Abdullah bin Umar, Usamah bin
Zaid, Saad bin Abi Waqqash, dan Ka'ab bin Malik. Tata cara pembai'atan dilakukan
menurut prosedur sebagaimana yang lazim berlaku atas diri Khalifah-khalifah
sebelumnya. Sesuai dengan tradisi pada masa itu, sesaat setelah dibai'at
Amirul
Mukminin Imam Ali r.a. menyampaikan amanatnya yang pertama. Antara lain
mengatakan:
"Sebenarnya
aku ini adalah seorang yang sama saja seperti kalian. Tidak ada perbedaan
dengan kalian dalam masalah hak dan kewajiban. Hendaknya kalian menyadari,
bahwa ujian telah datang dari Allah s.w.t. Berbagai cobaan dan fitnah telah
datang mendekati kita seperti datangnya malam yang gelap-gulita. Tidak ada
seorang pun yang sanggup mengelak dan menahan datangnya cobaan dan fitnah itu,
kecuali mereka yang sabar dan berpandangan jauh. Semoga Allah memberikan
bantuan dan perlindungan. "Hati-hatilah kalian sebagaimana yang telah
diperintahkan oleh Allah s.w.t. kepada kalian, dan berhentilah pada apa yang
menjadi larangan-Nya. Dalam hal itu janganlah kalian bertindak
tergesa-gesa,
sebelum kalian menerima penjelasan yang akan kuberikan. "Ketahuilah bahwa
Allah s.w.t. di atas 'Arsy-Nya Maha Mengetahui, bahwa sebenarnya aku ini tidak
merasa senang dengan kedudukan yang kalian berikan kepadaku. Sebab aku pernah
mendengar sendiri Rasul Allah s.a.w. berkata: "Setiap waliy (penguasa atau
pimpinan) sesudahku, yang diserahi pimpinan atas kaum muslimin, pada hari
kiyamat kelak akan diberdirikan pada ujung jembatan dan para Malaikat akan
membawa lembaran riwayat hidupnya. Jika waliy itu seorang yang adil, Allah akan
menyelamatkannya karena keadilannya. Jika waliy itu seorang yang dzalim,
jembatan itu akan goncang, lemah dan kemudian lenyaplah kekuatannya. Akhirnya
orang itu akan jatuh ke dalam api neraka…"[17]
3. Peristiwa
tahkim Pada Masa Ali Bin Abi Thalib
Konflik
politik antara Ali Bin Abi Thalib dengan Muawwiyah Ibn Abi Sufyan diakhiri
dengan Tahkim. Dari pihak Ali Ibn Abi Thalib diutus seorang ulama yang terkenal
sangat jujur dan tidak “ cerdik” dalam politik yaitu Abu Musa Al Asyari.
Sebaliknya dari pihak Muawiyah Ibn Abi Sufyan diutus seorang yang sangat
terkenal sangat “cerdik” dalam berpolitik yaitu Amr ibn Ash.
Dalam
tahkim tersebut, pihak Ali Ibn Abi Thalib dirugikan oleh pihak Muawiyah Ibn Abi
Sufyan karena kecerdikan Amr Ibn Ash yang dapat mengalahkan Abu Musa Al Asyari.
Pendukung Ali Ibn Abi Thalib, kemudian terpecah menjadi dua, yaitu kelompok
pertama adalah mereka yang secara terpaksa menghadapi hasil Tahkim dan mereka
tetap setia kepada Ali Ibn Abi Thalib, sedangkan kelompok yang kedua adalah
kelompok yang menolak hasil Tahkim dan kecewa terhadap kepemimpinan Ali Ibn Abi
Thalib yang kemudian melakukan gerakan perlawanan terhadap semua pihak yang
terlibat dalam Tahkim, termasuk Ali Ibn Abi Thalib.
Khalifah
Ali bin Abi Thalib menjalankankan roda pemeriintahannya selama lebih kurang 5
Tahun.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Bentuk
peradaban yang paling besar pada masa Khalifah Abu Bakar antara lain :
Penghimpunan Al Quran, mengelola zakat, infak dan sedekah yang berasal dari
kaum muslimin, sedangkan dalam Praktik pemerintahan Khalifah Abu Bakar
terpenting lainnya adalah mengenai suksesi kepemimpinan atas inisiatifnya
sendiri dengan menunjuk Umar bin Khattab untuk menggantikannya.
2. Peradaban
yang paling signifikan pada masa Umar, selain pola administratif pemerintahan,
peperangan, dan sebagainya adalah pedoman dalam peradilan. Pemikiran Khalifah
Umar bin Khattab khususnya dalam peradilan yang masih berlaku sampai sekarang
3. Di
antara jasa- jasa Usman Bin Affan adalah tindakannya untuk menyalin dan membuat
Al- Quran standar, yang di dalam kepustakaan disebut dengan kodifikasi al Quran
4. Yang
paling terkenal pada msa Ali ini adalah terjadinya Tahkim antara Ali Bin Abi
Thalib dengan Muawwiyah Ibn Abi Sufyan . Dari pihak Ali Ibn Abi Thalib diutus
seorang ulama yang terkenal sangat jujur dan tidak “ cerdik” dalam politik
yaitu Abu Musa Al Asyari. Sebaliknya dari pihak Muawiyah Ibn Abi Sufyan diutus
seorang yang sangat terkenal sangat “cerdik” dalam berpolitik yaitu Amr ibn
Ash.
Dalam
tahkim tersebut, pihak Ali Ibn Abi Thalib dirugikan oleh pihak Muawiyah Ibn Abi
Sufyan karena kecerdikan Amr Ibn Ash yang dapat mengalahkan Abu Musa Al Asyari.
Pendukung Ali Ibn Abi Thalib, kemudian terpecah menjadi dua, yaitu kelompok
pertama adalah mereka yang secara terpaksa menghadapi hasil Tahkim dan mereka
tetap setia kepada Ali Ibn Abi Thalib, sedangkan kelompok yang kedua adalah
kelompok yang menolak hasil Tahkim dan kecewa terhadap kepemimpinan Ali Ibn Abi
Thalib yang kemudian melakukan gerakan perlawanan terhadap semua pihak yang
terlibat dalam Tahkim, termasuk Ali Ibn Abi Thalib.
[1] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung
: CV Pustaka Setia, 2008 ), h. 67
[2] H.O.S. Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme,
(Jakarta : Tride, Cetakan I, 2003), h. 68
[3] Suatu tempat yang biasa
digunakan untuk berkumpul dan membahas masalah- masalah umat. Pertemuan kali
ini khusus diselenggarakan untuk menimbang siapa yang harus memegang tampuk
pemerintahan di kalangan mereka setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Ketika
Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar ibn Al Khattab dan Abu ‘Ubaidah diberitahu akan hal
ini, beliau segera menyatakan kesediaannya berpartisipasi dalam pertemuan ini.
[4] Ibid, h. 69-70
[5] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Konstekstualisasi Doktrin
Politik Islam , (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2000), h. 51
[6] Al Furqan Hasbi, 125 Masalah Zakat, ( Solo: Tiga Serangkai, Cetakan
Pertama, 2008 ), h. 27
[7] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam……………… h 71
[8] Ibid, h. 78
[9] Muhammad Husain Haikal , Al- Faruq ‘Umar, diterjemahkan
oleh Ali Audah, Umar Bin Khattab (Bogor : Pustaka Litera AntarNusa, cetakan ke-
3, 2002), h. 133 - 135
[10] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Konstekstualisasi Doktrin
Politik Islam………….. h. 55
[11] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam……………. h. 82-83
[12] Abdurrahman At Tamimi, Utsman Bin Affan Radiyallahu ‘Anhu Khalifah
Yang Terzalimi, (Maktabah Abu Salma Al Atsari, 2008), h. 6
[13] Inu Kencana Syafi’ie, Ilmu
Pemerintahan dan Al- Quran, ( Jakarta : PT Bumi Aksara, Cetakan I, 2004),
h. 152-153
[14] Habib Boulares, Islam Biang Ketakutan atau Tumpuan Harapan ?,
( Bandung : Pustaka Hidayah, Cetakan I, 2003), h. 123
[15] Muhammad Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2006),
h. 178-179)
[16] H.M.H. Al Hamid Al Husaini, Sejarah Hidup Ali Bin Abi Thalib ra, (Jakarta : Lembaga Penyelidikan
Islam, 1981), h. 6-7
[17] Ibid, h. 83-85
Tidak ada komentar:
Posting Komentar